Oleh Andreas Deda, MA (*) Ketika Spanyol menguasai Amerika latin. Bahasa asli suku pribumi yang disebut Quechea hidup diambang kepunahan. Demikian halnya ketika Amerika menguasai Hawaii. Bahasa Hawaii pun sempat mengalami detak – detak nadi terakhir di ambang kematian. Semua ini terjadi akibat kekeliruan manusia menterjemahkan konsep modernisme dan peradaban adalah absolut dibangun diatas bahasa Inggris atau Indo - European languages seperti Jerman, Italy, Perancis dan Belanda sebagai salah satu bahasa dari manusia yang disebut moderen. Misleading concept of modernism and civilization is the reason why local and regional languages are dying. (Salah penfasiran tentang konsep modernisme dan peradaban merupakan alasan mengapa bahasa daerah bisa mati). Sejarah yang terjadi didataran Eropa menjelaskan; ketika Inggris menguasai Irlandia bahasa Irish hampir mati ditelan tanah. Dibenua Afrika lebih mengenaskan lagi; bahasa Belanda dan Prancis berhasil mematikan sekitar 450 bahasa pribumi dan menjadikan dua bahasa besar ini sebagai bahasa utama atau ’the main languages of the Afrikaans’. Sehingga orang Afrika untuk beberapa dekade pernah mengalami kehidupan yang jika diumpamakan mereka adalah suatu pribadi yang berbadan, badan Afrika tetapi suara, suara Eropa, hingga akhirnya bangkit pemberontakan seperti Bob Marley dan kawan – kawan yang berusaha mengembalikan jati diri Afrika. Bahasa - bahasa Indian Amerika pernah dibawah kekuasaan Eropa mengalami hal yang sama hingga akhir abad sembilan belas. Mengutip (Deda. 2008.21 Juli) dalam media Papua tentang keberadaan bahasa; ”bahasa datang tak diundang dan pergipun tak diantar. Apabila pasang surut gelombang kekuatan dan kekuasaan menerpa maka diatas bahu para penguasa ia akan selamat, tetapi diatas pundak para penguasa ini iapun bisa berbaring pulas dalam keheningannya hingga tewas tertelan bumi”. Dan akhirnya kita mengenal istilah bahasa punah, bahasa mati, bahasa hilang, bahasa kuno dan macam – macam frase untuk menjelaskan ketidak hadiran suatu bahasa dimuka bumi. Dalam cerita Hindu dan Budha mereka mengenal bahwa ketika Brahmana menciptakan seisi bumi, maka Saraswati memberikan bahasa kepada manusia untuk mengusahakan bumi. Para penganut agama Islam dan Kristen pasti mengenal yang namanya Adam. Setelah seisi alam telah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa kemudian semua itu dibawahkan kepada Adam dan Adam pun menamai semua makhluk yang ada sesuai nama dan identitasnya. Dan sejak saat itulah bahasapun hadir tanpa disadari oleh siapapun. Bahasa daerah merupakan identitas asali dari keberadaan seseorang. Manusia dikenal kebangsaannya dari bahasa yang dituturkan. Bahasa dan daerah erat berkait dan tak terpisahkan dalam hidup dan kehidupan yang menghidupkan. Artinya setiap orang hidup didaerah menggunakan bahasa daerahnya untuk menamai setiap sumber daya alam yang ada dilingkungannya sesuai dengan nama dan karateristik yang dimiliki, dan dari interaksi antara dirinya dengan alam dimana dia ada, terciptalah kehidupan. Dan kehidupan itu dibangun diatas bahasa dan proses membahasakan alam sekitar. Pada bulan November 2010 lalu ketika mengikuti simposium internasional di Bangkok tentang Millenium Development Goals (MDGs) and Multilingual Education (Tujuan Pembangunan Millenium dan Pendidikan Multi-Bahasa) seorang professor dari Inggris, Sussane Moraine, mengatakan bahwa tujuan pembangunan millenium akan bisa tercapai apabila konsep tersebut telah dipahami dalam bahasa manusia sehari –hari dan pendidikan dengan pendekatan multilingual berbasis bahasa daerah adalah cara terbaik untuk mewujudkan MDGs. Sebab dapat dikatakan sebagai contoh bahwa pembangunan manusia Papua misalnya, bukan orang Papua dibangun menjadi seperti Inggris atau Belanda dan hidup dialam Jawa atau Makasar. Tetapi orang Papua menjadi Papua dan hidup dari sumber daya alamnya dan menjaga dan melestarikan sumber – sumber kehidupannya sendiri demi keberlangsungan anak cucu. Dan hal itu dilakukan dengan mempelajari kesamaan universal ditempat lain sebagai pendekatan pembangunan. Dan hal pembangunanan yang hakiki bisa dilakukan dengan bahasa daerahnya masing – masing karena alam dimana dia hidup pertama kali dinamai dalam bahasa daerahnya. Meminjam kata – kata dari Profesor Oktaviana, seorang professor Ilmu Sosial Budaya dari Northern Univeristy of Arizona (NUA); when you can talk and work in your language you are child of the land. (Ketika anda bisa berbicara dan bekerja dalam bahasa anda maka anda adalah anak negri). Hal ini mengandung kearifan bahwa bumi tempat kita hidup akan menghidupkan kita apabila kita mampu menjaga dan mengenal alam kita dari cara kita bekerja dan berbahasa. Karena didalam bahasalah terdapat konsep tentang dunia dan dunia itu dibahasakan dalam komunikasi setiap hari. Konsep yang kita miliki tentang alam sekitar kalau tidak bersahabat dengannya maka hancurlah alam. Inilah yang dinamakan bahwa dalam kearifan lokal terdapat hikmat dan pengetahuan pertama sebagai pemberian murni dari Tuhan untuk kelestarian alam. Khusus tentang Papua, sebelum segala pengaruh asing datang, manusia penghuni tanah New Guinea telah berada disana beratus – ratus bahkan berjuta tahun dari generasi ganti generasi, dan mereka mengenal alam mereka lebih detail sebelum orang lain mengenalnya. Dengan kata lain, sebelum ahli taksonomi datang dan mengamati alam kemudian menamai setiap spesies yang ditemui dari lingkungan dimana makhluk hidup itu berada, para pemilik negri yang hidup disana generasi ganti generasi telah menamainya lebih dulu. Dan hikmat dan marifat itu terdapat dalam bahasa daerah. Bahasa daerah itu penting, karena dengan bahasa daerahlah orang pertama kali menamai alam. Ketidak pedulian manusia dalam menghargai bahasa daerah sama dengan melupakan hikmat pertama, dan hal ini akhirnya bisa mendatangkan malapetaka besar bagi dunia. Banjir bandang Wasior menjadi bukti bahwa didalam bahasa daerah ada hikmat dan marifat yang jika diabaikan akan mencelakakan manusia. Wasior berdasarkan etimologinya berarti tanah atau tempat yang masih basah atau juga tempat yang belum kering. Tempat ini dinamai oleh penjelajah pertama di seluruh Teluk Saireri hingga Doberai yaitu orang Biak. Mereka menjelajah dan menamai tempat sesuai dengan ciri – ciri dari alam itu. Tanah yang basah berarti banyak air dan diatas tanah tersebut rawan diadakan pembangunan. Dengan tidak memahami nama dan arti yang terkandung dari kata Wasior orang membangun dan membuat kota disana, maka akhirnya malapetaka muncul berupa banjir bandang. Hal yang sama pernah terjadi di Jayapura pada tahun 2000 ketika banjir menutupi Perumnas IV Padang Bulan Sosial. Tempat itu dalam bahasa Sentani disebut Rebali yang merupakan juga wi yobe ”sungai nenek moyang” Rebali berasal dari dua suku kata yaitu re ”rawa” dan ebeli artinya panjatkan,atau secara lurus tertinggal. Rebali adalah nenek moyang yang jatuh tertinggal sebagai rawa. Dan tempat tersebut tidak cocok untuk pembangunan.Namun karena hikmat dan pengetahuan introduktif yang bersifat asing dan tidak bersahabat dengan alam maka terjadilah malapetaka itu. Dan untuk dua hal ini jika dibandingkan dengan pendekatan pembangunan masa pendudukan Belanda, mereka menghargai benar bahasa daerah. Dan dengan mempelajari hikmat lokal tersebut dua tempat yang disebutkan diatas tidak diijinkan untuk pembangunan pada waktu itu. Hari ini banyak bahasa daerah yang terlupakan oleh generasi muda di tanah Papua. Mempelajari bahasa daerah dianggap kuno dan ketinggalan jaman.Namun andaikan kita bisa mencari hikmat dari masalah lalu untuk membangun kebesaran kita sebagai manusia mengapa kita harus melupakan bahasa itu. Sebagai refleksi andaikan kita bertanya; apakah tujuh keajaiban dunia yang diagung - agungkan sebagai salah satu sumber devisa negara dibangun disaman tekhnologi canggih?. Dimanakah hikmat dan marifat seperti itu terdapat? Hikmat dan pengetahuan untuk membangun kebesaran itu terdapat dalam bahasa mereka. Bertolak dari penjelasan diatas, tulisan ini ingin mengingatkan bahwa Papua sebagai laboratorium penelitian bahasa yang diincar dunia dan dikejar oleh para ahli. Perlu diberikan perhatian yang serius agar perlindungan dan pelestarian bahasa daerah menjadi tanggung jawab kita bersama baik pemerintah, pemerhati bahasa dan juga masyarakat pemilik. Gubernur Papua, Barnabas Suebu SH, pada konferensi internasional tentang bahasa dan budaya Papua tahun lalu telah menunjukan keseriusannya sebagai pemerintah dengan mengakomodir bahasa daerah dalam perhatian pemerintah lewat pendidikan. Hal ini harus menjadi gayung bersambut antara semua stakeholders. Mengapa kita harus takut untuk menggunakan bahasa daerah? Deklarasi PBB tanggal 13 September 2007 tentang Hak – Hak Masyarakat Adat pada pasal 13 ayat 1 & 2 menyatakan masyarakat adat mempunyai hak untuk menggunakan dan mewariskan bahasa daerah, dan negara berkewajiban untuk melindungi hak berbahasa tersebut. (Dalam deklarasi tersebut Indonesia sebagai negara bhineka tunggal ika hadir dan mendukung penuh deklarasi tersebut). Di samping itu, Undang – Undang Otonomi Khusus Papua Pasal 58 ayat 1 dan 3 menyatakan; (1) bahwa Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jatidiri orang Papua, dan ayat (3) menegaskan bahwa bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan. Namun sangat disayangkan bahwa saat ini sebagian bahasa – bahasa Papua dengan belum sempat diwariskan kepada generasi penerusnya dia akan punah untuk selamanya. Sebagai salah satu contohnya adalah bahasa Dusner. Bahasa Dusner akan mengalami kepunahan dalam waktu dekat. Bahasa Dusner adalah bahasa Papua yang dituturkan oleh orang Papua di Kabupaten Teluk Wondama kampung Dusner. Bahasa ini berhasil diidentifikasi oleh Mahasiswa Fakultas Sastra jurusan linguistik Universitas Negeri Papua, Manokwari. Dalam kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) pada 12 – 25 Januri 2011 dikampung Dusner, mereka menemukan bahwa penutur bahasa Dusner tinggal 3 orang dan semuanya berusia antara 76 hingga 80 tahun. Kampung Dusner memiliki jumlah penduduk sebanyak 236 orang dengan jumlah laki – laki sebanyak 117 dan wanita sebanyak 119, dari jumlah tersebut hanya 2 orang nenek dan satu orang tete yang bisa berbahasa Dusner yang lainnya tidak bisa sama sekali. Penelitian ini hanya mampu merekam daftar kata – kata dari bahasa tersebut dan itupun telah tercampur baur dengan bahasa Wamesa atau Wandamen. Dusner artinya ”Tanah Suci” kampung ini menurut sejarahnya adalah kampung yang pernah menyimpan cerita tentang pergulatan Injil dan budaya. Mengapa bahasa ini bisa mengalami kepunahan?. Dari hasil bincang – bincang dengan para penduduk di Dusner di informasikan bahwa bahasa tersebut oleh guru – guru penginjil dari Ambon dikatakan sebagai bahasa kafir sehingga tidak boleh dituturkan oleh generasi selanjutnya. Hal ini seirama dengan apa yang dijelaskan oleh Kamma (Ajaib di Mata Kita III.414 -416); guru – guru Ambon dan Sangir dari GPI mengalami masa penggodokan yang singkat dan hanya sebagai guru katekisasi dan kadang – kadang pun tidak. Pendidikan teoloogi mereka serba singkat, tetapi sikapnya terhadap kebudayaan Papua agak agresif. Semua unsur kebudayaan Papua mereka golongkan kedalam ”kekafiran” yang wajib mereka berantas. Dan sesungguhnya tentang pandangan seperti ini sejak masa I.S. Kijne, 1925, sebagai peletak dasar peradaban Papua telah diprotesnya. Untuk hal tersebut Kijne menulis satu bab yang berjudul: ”Dasar kepastian segala sesuatu yang kita harapkan”. Didalamnya dinyatakan dengan jelas: ”Marilah kita bayangkan bahwa kita para zendeling telah datang di Papua ini, dan sesudah beberapa waktu kita telah mengira bahwa setidak – tidaknya di medan zending ini kerajaan Allah telah datang dengan segala kemuliaannya..... .Dimanapun dan dalam hal apapun mudah terjadi kemacetan. Orang bisa saja mempertahankan hal yang lama, tapi kalau demikian dimanakah letak unsur hidupnya? Dalam hal itu orang akan memegang unsur dimasa awal zending. Tidak adakah cukup harapan untuk benar – benar melepaskan itu juga dan hidup secara sungguh – sungguh?”. Kijne melihat cara pandang yang membagi Tradisionalisme dan Formalisme sebagai hal yang mematikan karena menganggap semua tradisi budaya lama adalah kafir. Menurut Kijne: ”tidak hidup dengan iman dan dengan mendengarkan Firman Allah selamanya menyebabkan orang kembali mencari dan berusaha menyingkapkan rahasia: pengetahuan yang rahasia, kuasa yang rahasia. Itulah yang dinamakan ”kekafiran” yang mesti diperangi. Pemikiran yang benar – benar dinamis menggumuli kenyataan dan mengarahkan perhatian dan tenaganya kepada kekuatan – kekuatan sosial yang mesti dirangsang atau digerakan. Jadi bukan dengan menuturkan bahasa tersebut dianggap Kafir.Mengakhiri tulisan ini ingin dikatakan bahwa kekeliruan konsep tentang modernisme, peradaban dan kekafiran adalah penyebab matinya bahasa – bahasa lokal. Akhirnya, semoga Dusner ”Tanah Suci” menjadi peringatan bagi manusia penghuni negeri Cenderawasih untuk melestarikan keindahan dan keragaman bahasanya dibumi yang diwariskan Tuhan ini. (*) Kepala Pusat Penelitian Bahasa dan Budaya (PUSBADAYA) Papua dan Dosen Linguistik Fakultas Sastra UNIPA, Manokwari.
via ScribeFire